Saya, Donor Darah, dan PMI : Sebuah Catatan

Saya saat menerima Penghargaan Relawan Donor Darah 25 kali PMI Kota Yogyakarta, 07 Mei 2016.
(Foto: Dokumen Pribadi)

Donor Darah, well...itu sebuah frasa yang menakutkan bagi sebagian orang. Termasuk saya. Bayangkan, sebuah jarum besar seukuran pena menusuk pembuluh darah anda, kemudian dengan semena-mena jarum itu menghisap darah secara perlahan. Bayangkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh jarum itu. Bayangkan pula tentang hal yang akan terjadi setelah donor darah itu selesai. Anda bisa saja pingsan saat melihat sebuah kantong transparan gemuk berisi darah segar. Bisa juga anda mengalami vertigo karena sudah kehabisan tenaga setelah darah anda terhisap oleh jarum mengerikan tersebut. Atau karena anda mengalami trauma melihat darah, anda sudah menggigil duluan saat melihat petugas PMI menunjukkan jarum tersebut.
Tapi itu hanya ketakutan pribadi saya dulu sebelum mengenal donor darah, PMI, dan proses panjang di baliknya. Dan mari kita kesampingkan ketakutan ala horor yang saya bagikan di atas, hehe. Let’s talk about blood donation. Dengan darah, kita bisa menyelamatkan nyawa orang lain di luar sana. Dengan darah pula, kita bisa membantu proses perjuangan seseorang yang tengah melawan penyakitnya. Dan menyumbangkan darah tidak perlu menunggu menjadi philantropist yang kaya raya, seperti Kim Kardashian. Cukup dengan datang ke unit transfusi darah di PMI terdekat -yang buka hampir 24 jam sehari, 7 hari seminggu- dan kita pun siap untuk menyumbangan darah. Ya, sesuai dengan keyakinan agama saya, bahwa untuk bersedekah, kita tidak perlu menjadi orang kaya. Simple, tinggal datang ke PMI, dan sumbangkan darah. That’s it. Kemudian semua proses menyeramkan yang saya ceritakan di atas tadi, akan sirna, berlalu bersama banyak benefit yang akan kita terima sebagai pedonor darah. Trust me.

Pengalaman Pribadi menjadi Pedonor Darah                                                             
Sebagai anak muda, saya tadinya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi pedonor darah. Karena menurut saya, proses mendonorkan darah itu akan menyakitkan. Belum lagi dengan after-effect yang ditimbulkan setelah mendonorkan darah, yang katanya bisa meningkatkan nafsu makan, bisa membuat pingsan, atau menjadi lemas lunglai loyo lemah letih lesu tak berdaya. Namun karena suatu kejadian, saya “terpaksa” menjadi pedonor darah.
Pada saat itu, saya baru saja mempunyai status sebagai mahasiswa semester dua (2) di sebuah universitas di Yogyakarta. Ya, Universitas Negeri Yogyakakarta (UNY). Saat itu, selain menjadi mahasiswa, saya juga mengikuti beberapa aktifitas berorganisasi. Saya mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Koperasi Mahasiswa, Kerohanian Islam tingkat Universitas dan Fakultas, Broadcasting Radio, Kelompok Renang, Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan yang terakhir saya ikut gabung adalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi. Dan di LPM Ekspresi inilah pertama kali dalam hidup saya, saya menjadi pedonor darah. Why? Kenapa justru bukan dari KSR PMI UNY saja untuk saya mulai menjadi pedonor darah? Itu dia yang akan saya ceritakan.
Suatu ketika saat saya sedang berkunjung ke sekretariat LPM Ekspresi selepas kuliah, salah satu teman saya di oganisasi tersebut, namanya Sunarno, bertanya kepada saya tentang golongan darah saya. Saya jawab bahwa saya mempunyai golongan darah O. Dan dengan pandangan nanar penuh harap, dia berkata “Nenekku ada di Rumah Sakit sekarang. Dia membutuhkan transfusi darah golongan O. Kamu mau ga donorin darahmu untuk nenekku?” dan tanpa berpikir panjang, saya jawab “Ya.”
Pada saat itu, saya tidak mengingat lagi pendapat saya sendiri yang menyatakan bahwa donor darah itu adalah suatu proses yang menyakitkan. Saya kesampingkan pendapat saya tersebut. Saya kesampingkan ketakutan saya tersebut. Satu-satunya hal yang terlintas di pikiran saya saat itu adalah bagaimana caranya agar saya mampu membantu menolong neneknya Sunarno tersebut. Sunarno berboncengan dengan saya menuju ke PMI Yogyakarta yang ada di Jalan Tegalgendu Kotagede, cukup jauh dari lokasi kampus saya.
And here we are. Akhirnya saya masuk ke ruangan pedonor darah, setelah melakukan registrasi, pemeriksaan tensi dan kadar Haemoglobin (Hb). Ruangan begitu dingin, dan jarumnya begitu besar. Ketika jarumnya menusuk pembuluh darah, saya pejamkan mata saya. Dan benar, proses donor darah –terutama saat jarumnya menusuk dan ditarik dari pembuluh darah- itu ternyata tidak begitu menyakitkan seperti yang saya takutkan sebelumnya. Ya semacam digigit nyamuk, nyamuk raksasa seukuran badak yang telah menjadi mutan, hehe. No, I’m kidding. Tidak, prosesnya tidak menyakitkan kok. Trust me. Kemudian, singkat cerita, darah saya telah berhasil ditransfusikan kepada neneknya Sunarno, dan beliau kembali sehat seperti sedia kala.
Proses donor darah pertama kali itu, yang hanya memakan waktu sekitar 15 menit, sungguh menjadi waktu singkat yang telah mengubah hidup saya. Seriously, sejak kali pertama saya melakukan donor darah itu, saya menjadi orang yang sangat berbeda. Saya menjadi ketagihan untuk melakukan donor darah. Bahkan sampai sekarang. Saya menjadi tidak sabar untuk menunggu 75 hari berikutnya untuk kembali mendonorkan darah.
Jujur ya, ada semacam kebanggaan tersendiri di dalam hati saya sebagai seorang pedonor darah. Kebanggaan seperti ini muncul, karena saya tahu bahwa saya telah berguna dan bermanfaat bagi sesama manusia lain. Bahkan jika kita menjadi pedonor darah sukarela, kita bahkan tidak akan pernah bisa mengetahui kepada siapa darah kita akan ditransfusikan. Ya semacam menjadi pahlawan misterius gitu, hehe. Well...menurut saya, seperti itulah hakikat manusia, yaitu bermanfaat bagi sesama dan saling tolong-menolong.
Setelah mengalami donor darah yang pertama tersebut yang ternyata prosesnya cukup menyenangkan dan memorable, membuat saya sendiri merasa ada sesuatu yang kurang jika saya belum kembali ke PMI untuk mendonorkan darah. Dan pengalaman donor darah berikutnya bagi saya menjadi lebih smooth dan tidak menakutkan lagi. Beberapa kali saya pernah mendonorkan darah saya di Unit Transfusi Darah Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta. Saat itu petugas KSR PMI Yogyakarta unit UNY menelepon saya, untuk menanyakan apakah saya bersedia untuk mendonorkan darah saya di RS Sardjito atau tidak. Pernah juga petugas dari RS Sardjito sendiri yang menelepon. Biasanya, jika pihak rumah sakit yang menelepon, itu artinya ada kasus pasien yang mendadak membutuhkan pertolongan. Beberapa kali juga ada sebuah komunitas pedonor darah –yang bukan dari PMI- menghubungi saya, untuk mendonorkan darah kepada pasien tertentu yang memang sedang dalam kondisi emergency. Mereka menghubungi saya secara mendadak, kadang saat tengah malam. Ya namanya saja kondisi darurat ya.
Pernah juga saya mendonorkan darah saat ada program donor darah massal yang diadakan oleh suatu perusahaan. Biasanya sih, karena saya tertarik untuk mendapatkan merchandise atau door prize dari acara donor darah massal tersebut, hehe. Pamrih banget ya, hehe. Merchandise yang dibagikan biasanya berbentuk kaos, mug, voucher makan di restoran tertentu, paket makanan, dan produk gratis dari sponsor. Pernah satu kali saya mendapatkan door prize dispenser air saat donor darah massal di kantor redaksi sebuah surat kabar harian. Dan beberapa kali pula saya pernah memenangkan paket produk alat makan merk ternama saat donor darah massal yang dilaksanakan oleh produk alat makan merk ternama tersebut, pada saat MC berbagi door prize. Lumayan lah ya. Namanya juga donor darah massal, pasti antre, bahkan bisa memakan waktu berjam-jam.
Tapi yang lebih sering sih, saya datang ke PMI Kota Yogyakarta, secara teratur dan rutin hampir setiap 75 hari sekali, untuk melakukan donor darah sukarela. Bukan karena saya tidak mau mendonorkan darah saya secara dadakan, bukan. Tapi karena kondisi teknis saja sih. Pihak KSR PMI unit UNY, pihak Rumah Sakit, ataupun pihak komunitas donor darah tersebut bisa saja menghubungi saya pada saat saya sedang berada dalam kondisi tidak siap. Semisal saat saya sedang berada di luar kota, atau –ini yang paling sering- donor darah terakhir saya belum mencapai 75 hari. Artinya kan darah saya belum memenuhi syarat untuk didonorkan. Ya memang ada proses donor darah apheresis, yang memakan siklus lebih pendek dari 75 hari, tapi sejauh ini saya belum pernah dihubungi oleh pihak PMI untuk melakukan donor darah apheresis tersebut. (Bahasan mengenai donor darah apheresis dapat anda ketahui melalui www.pmisolo.or.id/donor-apheresis/ )
Pihak PMI Kota Yogyakarta akan menghubungi saya via pesan pendek (sms) atau telepon untuk memberitahukan bahwa sudah saatnya bagi saya untuk kembali berdonor darah. Dan itu rutin mereka lakukan setiap 75 hari sekali, sesuai siklus produksi darah manusia. Itu yang menjadi patokan saya. Selain mendonorkan darah di PMI Kota Yogyakarta, saya juga pernah mendonorkan darah di PMI Wonosobo kota asal saya, PMI Purwokerto, dan PMI Sleman, tentunya dengan menunjukkan kartu donor darah saya –bagi pedonor bergolongan darah O, kartunya berwarna pink merah muda gitu, hehe- agar proses donor darah saya bisa tercatat di dalam kartu tersebut. Itulah bukti bahwa PMI selalu siap sedia menerima pedonor darah di manapun dan kapan pun, serta untuk siapa pun. Ketika ada salah seorang kolega saya yang menyatakan “Mau donor darah, ya kudu masuk jadi anggota PMI dulu” itu menurut saya adalah pendapat yang salah kaprah, hehe. Orangnya pasti belum pernah menjadi pedonor darah itu. Toh syarat untuk menjadi pedonor darah tidak mencantumkan “harus menjadi anggota PMI” terlebih dahulu.

Benefit menjadi Pedonor Darah bagi Saya
Bagi pedonor darah, pasti akan mendapatkan banyak benefit atau manfaat dari mendonorkan darah. Jika anda membuka search engine seperti Google, dan kemudian anda mengetikkan kata kunci “manfaat donor darah bagi pedonor”, maka anda akan mendapatkan banyak sekali artikel dan blog yang membahas tentang hal ini. Salah satunya dari website PMI yang beralamat di www.pmi.or.id/index.php/aktivitas/pelayanan/donor-darah/donor-sekarang.html?showall=&start=3 yang menyatakan bahwa donor darah mampu menjaga kesehatan jantung, meningkatkan produksi sel darah merah, membantu menurunkan berat badan, mendapatkan kesehatan psikologis, dan mendeteksi penyakit serius. Untuk lebih detailnya, anda bisa membuka sendiri halaman yang saya sertakan di atas. Namun, kali ini, saya akan membahas mengenai benefit menjadi pedonor darah, ala saya. Manfaat menjadi donor darah yang saya alami dan rasakan sendiri.
1.    Menjadi lebih concern pada kesehatan pribadi
Syarat utama untuk mendonorkan darah adalah harus dalam kondisi sehat dan fit. Setelah rutin melakukan donor darah, saya menjadi orang yang lebih memperhatikan kondisi kesehatan pribadi saya. Saya akan menjaga pola makan dan waktu istirahat saya, supaya kondisi tubuh saya memenuhi syarat untuk mendonorkan darah, seperti dalam keadaan sehat, fit, tidak sedang demam, tidak kurang tidur, tidak kelelahan, dan juga dalam kondisi yang cukup minum air putih. Dan itu perlu saya lakukan sepanjang hidup saya, agar sewaktu-waktu ada permintaan donor darah, saya sudah siap.
Pernah pada suatu hari, saya mendapatkan panggilan dari PMI Kota Yogyakarta untuk berdonor darah. Pesan pendek dari PMI masuk ke ponsel saya, saat saya sedang melakukan olahraga gym di sebuah pusat kebugaran. Begitu selesai ngegym, minum susu whey protein, dan makan nasi lengkap, saya langsung meluncur ke PMI Kota Yogyakarta. Namun apa mau dikata, saat proses registrasi dan check up awal, ternyata darah saya tidak memenuhi syarat. Bukan karena tensi saya yang rendah, namun karena ternyata kadar Hb dalam darah saya adalah 18.3 g/dl, melebihi batas yang ditetapkan oleh PMI yaitu pada kisaran 12.5-17 g/dl. Petugas PMI yang melayani saya bertanya apakah saya kurang minum air putih saat itu. Saya jawab, bahwa saya selalu mencukupi kebutuhan air putih saya sehari sekitar 2 sampai 2.5 liter, tapi saat itu saya memang baru saja selesai berolahraga di gym. Kemudian petugas tersebut kembali berkata bahwa untuk olahragawan seperti saya, sebaiknya mengkonsumsi air putih lebih banyak daripada orang kebanyakan. Apalagi para penggemar olahraga gym biasanya menerapkan pola makan yang kaya protein dan zat besi, yang membuat kadar darah kami mempunyai kandungan yang lebih pekat. Dan ditambahkan lagi, bahwa sebaiknya antara 30 menit sampai satu jam sebelum melakukan donor darah, para calon pedonor sebaiknya minum air putih sekitar 500 ml, agar kadar Hb memenuhi syarat. Wah, jadi dapat ilmu baru lagi bagi saya mengenai kesehatan pribadi. Itulah mengapa sekarang saya menjadi lebih concern terhadap kesehatan pribadi saya setelah rutin menjadi pedonor darah.
2.    Menambah silaturahmi
Menambah silaturahmi yang saya maksudkan adalah saat saya mendonorkan darah, saya biasanya mengajak berbincang dengan petugas PMI yang melayani saya –walau ya..ada saja petugas PMI yang mungkin karena mood-nya sedang tidak bagus, ada yang tidak suka diajak berbincang-. Saya biasanya mengawali perbincangan dengan menanyakan sudah berapa lama beliau bertugas dan mengabdi di PMI, kemudian dilanjutkan mengenai proses screening darah di laboratorium, dan sebagainya. Dari perbincangan pendek seperti ini, saya juga bisa mendapat ilmu baru tentang proses donor darah, dari sejak diambil dari tubuh pedonor, masuk ke laboratorium, hingga kemudian ditansfusikan ke dalam tubuh pasien. Beberapa petugas PMI Kota Yogyakarta kemudian menjadi kenal dengan saya, karena saya suka mengajak berbincang mereka itu tadi.
Terkadang juga saya mengajak berbincang dengan sesama pedonor lain yang sama-sama tengah melakukan donor darah. Dengan mereka, biasanya saya akan berbagi info tentang donor darah massal, agar nantinya kami punya teman ngobrol saat mengantre menunggu giliran donor darah, jika suatu hari kami kebetulan sama-sama sedang berada di acara donor darah massal tersebut.
Oh ya, neneknya Sunarno itu sampai sekarang masih sehat dan sugeng. Beliau sudah menganggap saya seperti cucunya sendiri. Itu juga salah satu bukti bahwa dengan donor darah, saya bisa menjalin silaturahmi dengan lingkungan baru. Jadi di Jogja yang merupakan kota perantauan saya, saya mempunyai nenek, walau bukan nenek kandung dan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan apa pun dengan saya, hehe. Sementara Sunarno pernah dengan sukarela menemani saya mengikuti audisi pencarian bakat, yang memakan waktu lama dari pagi hingga malam. Saya tidak memaksa dia untuk melakukan itu loh, hehe. Yang pasti sih, dengan donor darah, bisa menambah silaturahmi, buktinya ada di saya, hehe.
3.    Pelayanan kesehatan gratis di Klinik PMI
PMI Kota Yogyakarta selain memberikan layanan transfusi darah, juga menyediakan layanan klinik kesehatan bagi masyarakat umum. Ya semacam Puskesmas gitu sih, yang terdiri atas Poli Umum dan Poli Gigi. Bagi pedonor darah yang melakukan donor darah di PMI Kota Yogyakarta, kami akan mendapatkan kartu anggota dan kartu kontrol kesehatan yang berlaku untuk semua layanan kesehatan yang dapat ditangani oleh dokter praktik di Klinik PMI tersebut, seperti layanan pemeriksaan dan pemberian obat di Poli Umum, dan juga layanan perawatan gigi di Poli Gigi. Jika untuk masyarakat umum akan dikenakan biaya tertentu, namun bagi pedonor darah yang menunjukkan kartu kontrol kesehatan, akan diberikan gratis, bebas biaya. Saya sendiri pernah menggunakan layanan kesehatan gratis ini untuk membersihkan karang gigi (scaling) dan proses pemutihan gigi (bleaching). Dan semuanya saya dapatkan gratis di Klinik PMI Kota Yogyakarta tersebut. Sekadar info, untuk perawatan pembersihan karang gigi di dokter praktik atau klinik swasta, biayanya berkisar antara Rp 50.000,- sementara untuk proses pemutihan gigi biayanya akan lebih mahal lagi.
4.    Kebanggaan dan kepuasan batin
Sebagaimana yang sudah saya jabarkan di atas, dengan menjadi pedonor darah, maka kita telah membantu menolong nyawa pasien yang mengalami kondisi darurat, atau yang sedang berjuang melawan penyakit. Hal itu memberikan kebanggaan dan kepuasan batin luar biasa yang tidak mampu saya ungkapkan dengan kata-kata. Ada kepuasan tersendiri saat mengetahui bahwa ada orang di luar sana, yang tidak saya kenal, bisa tertolong dengan adanya darah saya yang mengalir dalam tubuhnya.
Kebanggaan dan kepuasan batin seperti ini tidak akan pernah bisa dipahami oleh orang yang belum pernah melakukan donor darah. Suatu hari ketika saya sedang mendonorkan darah, saya memfoto dan merekam proses donor darah tersebut, untuk kemudian saya unggah ke media sosial. Maksud saya adalah untuk mengajak para pengikut media sosial saya agar mau mendonorkan darahnya juga. Tapi ternyata ada saja pengikut yang memberikan komentar negatif dengan menuduh saya sedang melakukan riya’ (pamer). Kemudian ketika saya konfirmasi pernyataan mereka tersebut, mereka sendiri malah belum pernah melakukan donor darah sama sekali. Duh... Ya begitulah, haters gonna hate.
5.    Benefit lain yang tak terduga
Dengan mendonorkan darah, saya mendapatkan benefit lain yang tak terduga. Contoh paling mudah ya saya pernah mendapatkan door prize saat mengikuti donor darah massal, seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Benefit tak terduga lainnya terjadi pada saat saya mengikuti sebuah ajang male pageant yang diadakan oleh sebuah merk produk nutrisi untuk pria. Jurinya memberikan tambahan poin untuk saya karena dengan menjadi pedonor darah, saya dianggap mempunyai pribadi yang berjiwa sosial kemanusiaan dan pengabdian masyarakat yang tinggi.
Oh ya, bulan lalu tepatnya pada tanggal 7 Mei 2016, saya menerima penghargaan pedonor darah aktif yang telah melakukan donor darah sebanyak 25 kali. Acara Malam Penganugerahan Penghargaan Donor Darah digelar secara khusus dan megah di Balai Serba Guna Gedung PMI Kota Yogyakarta, berbarengan dengan penerima penghargaan donor darah 50 kali, 75 kali, dan 100 kali. Di antara ratusan peserta yang hadir, saya adalah peserta termuda yang mendapatkan penghargaan tersebut, dan saya satu-satunya peserta yang berusia di bawah 35 tahun. Kami semua mendapatkan kenang-kenangan berupa pakaian batik khusus, piala akrilik yang didesain mirip tetesan darah, mug cantik, kaos khusus, dan sertifikat. Pada pidato sambutannya, Ketua PMI Kota Yogyakarta, Prof. Adi Heru Husodo, mendaulat kami semua sebagai Duta Donor Darah Kota Yogyakarta. Diharapkan kami semua dapat mensosialisasikan donor darah yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan bagi kesehatan. Betapa bangganya saya saat itu.
Rencana saya ke depan adalah mengikuti sebuah ajang male pageant yang akan diselenggarakan di Bali, dan juga akan mendaftar beasiswa ke luar negeri. Sertifikat Penghargaan Donor Darah saya ini dapat saya lampirkan untuk mendaftarkan diri pada dua kegiatan tersebut. Worth it banget kan? Itulah beberapa benefit yang tak pernah saya duga sebelumnya, yang ternyata sangat berharga bagi saya pribadi.

Nah, itulah cerita saya selama menjadi pedonor darah. Semoga catatan saya tersebut bisa memberikan value lain mengenai donor darah, yang bagi sebagian dari kita masih dianggap sebagai hal yang menakutkan. Anak muda seperti saya saja mau menjadi donor darah, kenapa anda tidak? –sedikit meminjam catchphrase dari sebuah iklan shampoo saat saya masih SD dulu-Jadi, Donor Darah? Siapa Takut. Terima kasih, dan sampai jumpa di tulisan saya berikutnya. Salam.

Wahyu Catur Prasetyo



Tulisan ini saya ikut sertakan dalam Lomba Blogger #RedCrossDay 2016 yang diselenggarakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) dan Komunitas Tau Dari Blogger.

Komentar