Poster film Jakarta vs Everybody. (Istimewa) |
Alkisah, tersebutlah seorang pemuda berusia awal 20an, bernama Dom (Jeffri Nichol), yang demi mencapai cita-citanya menjadi seorang actor, rela merantau dari tanah asal usulnya nun jauh di Sumatera Barat, menuju ke Jakarta. Dengan segala pesona fisiknya (kecuali gaya rambutnya), Dom bertekad menaklukkan tantangan untuk meraih mimpinya tersebut. Termasuk untuk memulai dari level bawah yakni dengan menjadi extras (figuran).
Namun beragam halangan menimpanya, sampai pada
akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Dom bekerja sebagai pengedar
narkoba untuk pasangan kekasih, Radit (Ganindra Bimo) dan Pinkan (Wulan
Guritno). Ketiganya tinggal di satu tempat rumah susun yang sama, yang dikelola
oleh Ratih (Jajang C. Noer). Selama dalam petualangannya, Dom pun terlibat
hubungan yang intens (dan intim) dengan seorang perias mayat, Khansa (dimainkan
dengan sangat apik dan “berani” oleh Dea Panendra).
Sebuah Film yang Serba Kentang
Ya, Kentang. Kena Tanggung. Semuanya Serba
Nanggung. Jakarta vs Everybody yang disutradarai oleh Ertanto Robby Soediskam
ini terasa serba nanggung. Tidak total, tidak maksimal. Dialog-dialog yang
cergas dan bernas (ditambah sekian kali sumpah serapah yang terlontar dari para
aktornya), terasa sangat hambar ketika dipadukan dalam alurnya.
Salah satu adegan dalam film Jakarta vs Everybody. (Istimewa) |
Poster promo film Jakarta vs Everybody. (Istimewa) |
Untuk segi teknis, jujur, saya suka dengan gambar yang disajikan oleh Ertanto yang berkolaborasi dengan Akhmad Khomaini selaku Director of Photography dan Rizki Ramadhan selaku Art Director, mampu mengeksplorasi beragam sisi Jakarta sebagai setting yang sangat sumpek. Dengan tampilan visual yang identic dengan warna kekuningan, semakin memperkuat jalinan cerita hidup Dom yang sangat ruwet. Kamerawan Zaki Ardiansyah dan Lukman Hakim mampu menerjemahkan ide yang ingin disampaikan oleh Ertanto dengan baik. Walaupun dari segi sound dan editing, saya merasakan ada sesuatu yang janggal. Pada beberapa scene, audionya terasa kurang hidup. Bukan karena ada scene-scene tertentu yang disajikan dengan teknik dubbing dan voice over. Namun yak arena audionya seperti terasa kurang menyatu dan hidup (contohnya saat adegan seks Dom dengan Khansa, atau saat adegan Pinkan menjelaskan status seseorang pada Dom ketika berpapasan di tangga rumah susun). Sisi editing, pada beberapa scene terasa sangat “njomplang” dan repetitive. Contohnya saat adegan awal Dom menyamar sebagai seorang transpuan, ada beberapa scene yang seakan alih-alih ingin mengeksplorasi acting Jeffri ketika menjadi transpuan, justru yang ditampilkan adegan berulang, lagi dan lagi.
Untuk sex scene… Uhuk. Film yang diproduksi
oleh Pratama Pradana Pic ini memang hanya tayang secara eksklusif di situs
BioskopOnline.com , pada 19 Maret 2022 yang lalu. Setelah tertunda hampir 3
tahun karena berbagai kendala (seperti kasus yang menimpa Jeffri Nichol sampai
karena adanya pandemi Covid19), akhirnya film ini tayang juga ke masyarakat
dengan label 21+. Dengan adanya label tersebut, sudah pasti akan tercipta imaji
liar mengenai adegan-adegan panas yang akan disajikan. Terlebih lagi,
trailernya memang sudah memunculkan cuplikan adegan-adegan panas tersebut.
Namun sayangnya, banyak penonton dari film ini,
yang sudah menyebarkan cuplikan adegan-adegan panas tersebut di Twitter. Jujur,
cuplikan tersebut semakin membuat saya penasaran ingin menontonnya. Walaupun
memang secara hukum legal, menyebarkan potongan adegan film tanpa izin tidak
bisa dibenarkan. Untuk adegan panasnya, memang sangat mencengangkan, terutama
adegan Dom dengan Khansa. Siapa yang menyangka jika Dea Panendra akan rela
melakukan adegan sepanas itu (plus sedikit nip slip di akhir scene). Walaupun
justru yang membuat jagad Burung Biru heboh adalah adegan masturbasi yang
dilakukan oleh tokoh Dom (di dalam plot, Dom melakukan ini beberapa kali).
Adegan sex scene juga ditampilkan oleh tokoh Dom dan Pinkan serta Pinkan dengan
Radit, namun tidak sepanas Dom dengan Khansa. Eh….
Salah satu adegan dalam film Jakarta vs Everybody. (Istimewa) |
Dengan semua hal serba kentang itu, nyatanya,
saya masih mau dan mampu menikmati seluruh ceritanya dalam 101 menit. Karena,
walaupun cerita dan adegannya kentang, saya masih bisa menikmati acting Jeffri
dan Dea, serta dengan keindahan visual yang ditampilkan oleh fisik Wulan dan
Bimo (oh come on, siapa yang ga setuju kalau Wulan sangat cantik di film ini).
Dan jujur, saya nyaman menonton Jakarta vs Everybody. Toh melalui film ini,
Jeffri dan Wulan meraih nominasi pada ajang FFI 2021 yang lalu. Oh ya, saksikan film ini secara legal dan terbatas, serta mensyaratkan usia minimal, melalui BioskopOnline.com , jangan menonton melalui situs ilegal.
Score : 6.8 dari 10
Tapi untuk keberanian Dea Panendra, score
menjadi 7.8 dari 10
Komentar
Posting Komentar