21+ [Review] Jakarta vs Everybody, Sebuah Cerita Kentang yang Justru Nyaman

 

Poster film Jakarta vs Everybody. (Istimewa)

Alkisah, tersebutlah seorang pemuda berusia awal 20an, bernama Dom (Jeffri Nichol), yang demi mencapai cita-citanya menjadi seorang actor, rela merantau dari tanah asal usulnya nun jauh di Sumatera Barat, menuju ke Jakarta. Dengan segala pesona fisiknya (kecuali gaya rambutnya), Dom bertekad menaklukkan tantangan untuk meraih mimpinya tersebut. Termasuk untuk memulai dari level bawah yakni dengan menjadi extras (figuran).

Namun beragam halangan menimpanya, sampai pada akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Dom bekerja sebagai pengedar narkoba untuk pasangan kekasih, Radit (Ganindra Bimo) dan Pinkan (Wulan Guritno). Ketiganya tinggal di satu tempat rumah susun yang sama, yang dikelola oleh Ratih (Jajang C. Noer). Selama dalam petualangannya, Dom pun terlibat hubungan yang intens (dan intim) dengan seorang perias mayat, Khansa (dimainkan dengan sangat apik dan “berani” oleh Dea Panendra).

Sebuah Film yang Serba Kentang

Ya, Kentang. Kena Tanggung. Semuanya Serba Nanggung. Jakarta vs Everybody yang disutradarai oleh Ertanto Robby Soediskam ini terasa serba nanggung. Tidak total, tidak maksimal. Dialog-dialog yang cergas dan bernas (ditambah sekian kali sumpah serapah yang terlontar dari para aktornya), terasa sangat hambar ketika dipadukan dalam alurnya.

Salah satu adegan dalam film Jakarta vs Everybody. (Istimewa)
Mungkin memang untuk character background, Ertanto yang bertindak selaku sutradara dan sekaligus penulis skenarionya, tidak terlalu mengulik terlalu dalam. Dibiarkan saja terbuka dan penuh misteri. Dom hanya satu kali menyebutkan bahwa dia berasal dari Sumatera Barat. Radit, Ratih dan Khansa pun tercipta dengan latar belakang yang sangat luas. Hanya Pinkan yang sedikit menceritakan tentang asal usulnya, termasuk dengan adegan dia berbincang dengan dialek khas Indonesia Timur. Semua karakter, dibiarkan terbuka oleh Ertanto. Karena pada dasarnya, semua karakter yang ada memang bisa menjelma menjadi siapa saja yang hidup, tinggal menetap, dan atau merantau di Jakarta. Dom, Radit, Pinkan, Khansa, Ratih dan semuanya bisa menjadi siapa pun orang yang anda temui. Di situ letak kekuatan karakter-karakter yang muncul dalam plot ini. Walaupun pada akhirnya, dengan demikian, Jakarta hanya akan menjadi setting lokasi, yang juga bisa berpindah di kota lain.

Poster promo film Jakarta vs Everybody. (Istimewa)

Untuk segi teknis, jujur, saya suka dengan gambar yang disajikan oleh Ertanto yang berkolaborasi dengan Akhmad Khomaini selaku Director of Photography dan Rizki Ramadhan selaku Art Director, mampu mengeksplorasi beragam sisi Jakarta sebagai setting yang sangat sumpek. Dengan tampilan visual yang identic dengan warna kekuningan, semakin memperkuat jalinan cerita hidup Dom yang sangat ruwet. Kamerawan Zaki Ardiansyah dan Lukman Hakim mampu menerjemahkan ide yang ingin disampaikan oleh Ertanto dengan baik. Walaupun dari segi sound dan editing, saya merasakan ada sesuatu yang janggal. Pada beberapa scene, audionya terasa kurang hidup. Bukan karena ada scene-scene tertentu yang disajikan dengan teknik dubbing dan voice over. Namun yak arena audionya seperti terasa kurang menyatu dan hidup (contohnya saat adegan seks Dom dengan Khansa, atau saat adegan Pinkan menjelaskan status seseorang pada Dom ketika berpapasan di tangga rumah susun). Sisi editing, pada beberapa scene terasa sangat “njomplang” dan repetitive. Contohnya saat adegan awal Dom menyamar sebagai seorang transpuan, ada beberapa scene yang seakan alih-alih ingin mengeksplorasi acting Jeffri ketika menjadi transpuan, justru yang ditampilkan adegan berulang, lagi dan lagi.

Untuk sex scene… Uhuk. Film yang diproduksi oleh Pratama Pradana Pic ini memang hanya tayang secara eksklusif di situs BioskopOnline.com , pada 19 Maret 2022 yang lalu. Setelah tertunda hampir 3 tahun karena berbagai kendala (seperti kasus yang menimpa Jeffri Nichol sampai karena adanya pandemi Covid19), akhirnya film ini tayang juga ke masyarakat dengan label 21+. Dengan adanya label tersebut, sudah pasti akan tercipta imaji liar mengenai adegan-adegan panas yang akan disajikan. Terlebih lagi, trailernya memang sudah memunculkan cuplikan adegan-adegan panas tersebut.

Namun sayangnya, banyak penonton dari film ini, yang sudah menyebarkan cuplikan adegan-adegan panas tersebut di Twitter. Jujur, cuplikan tersebut semakin membuat saya penasaran ingin menontonnya. Walaupun memang secara hukum legal, menyebarkan potongan adegan film tanpa izin tidak bisa dibenarkan. Untuk adegan panasnya, memang sangat mencengangkan, terutama adegan Dom dengan Khansa. Siapa yang menyangka jika Dea Panendra akan rela melakukan adegan sepanas itu (plus sedikit nip slip di akhir scene). Walaupun justru yang membuat jagad Burung Biru heboh adalah adegan masturbasi yang dilakukan oleh tokoh Dom (di dalam plot, Dom melakukan ini beberapa kali). Adegan sex scene juga ditampilkan oleh tokoh Dom dan Pinkan serta Pinkan dengan Radit, namun tidak sepanas Dom dengan Khansa. Eh….

Salah satu adegan dalam film Jakarta vs Everybody. (Istimewa)
Namun demikian, ada satu hal yang sangat mengganjal bagi saya adalah gaya rambut Dom. Okay, dengan kombinasi wajah Jeffri Nichol itu, dia mau pakai gaya rambut apapun akan tetap terlihat tampan dan mempesona. Tapi kan Dom ini berkawan dekat dengan Radit yang seorang pemilik barbershop, masa iya Radit tidak pernah menyarankan Dom untuk berganti gaya rambut. Gaya rambut Dom ini seperti menimbulkan lubang pada alur cerita film ini.

Dengan semua hal serba kentang itu, nyatanya, saya masih mau dan mampu menikmati seluruh ceritanya dalam 101 menit. Karena, walaupun cerita dan adegannya kentang, saya masih bisa menikmati acting Jeffri dan Dea, serta dengan keindahan visual yang ditampilkan oleh fisik Wulan dan Bimo (oh come on, siapa yang ga setuju kalau Wulan sangat cantik di film ini). Dan jujur, saya nyaman menonton Jakarta vs Everybody. Toh melalui film ini, Jeffri dan Wulan meraih nominasi pada ajang FFI 2021 yang lalu. Oh ya, saksikan film ini secara legal dan terbatas, serta mensyaratkan usia minimal, melalui BioskopOnline.com , jangan menonton melalui situs ilegal.

Score : 6.8 dari 10

Tapi untuk keberanian Dea Panendra, score menjadi 7.8 dari 10

Komentar